down syndrome

                              
A.    Latar Belakang Masalah
Memiliki keturunan adalah salah satu hal yang diharapkan dalam suatu pernikahan. Dimana suatu keluarga dikatakan lengkap jika terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Setiap orang tua memiliki konsep yang berbeda-beda tentang seperti apakah anak yang diharapkan akan lahir ditengah keluarga tersebut. Hurlock (2004) mengatakan bahwa ada beberapa sumber yang mempengaruhi sikap orang tua terhadap anaknya, salah satunya yaitu adanya konsep “anak idaman”, yang terbentuk sebelum kelahiran anak sangat diwarnai romantisme, dan didasarkan atas gambar anak ideal orang tua. Bila anak gagal memenuhi harapan orang tua, orang tua merasa kecewa dan mulai bersikap menolak.
Memiliki anak dengan gangguan intelegensi merupakan salah satu hal yang berada diluar konsep anak idaman dari setiap pasangan suami istri. Anak-anak yang memiliki keterbelakangan mental ini sering mengalami kesukaran dalam mengikuti pendidikan selayaknya anak normal, dan juga memiliki kesulitan dalam mengurus diri sendiri dalam masyarakat, sehingga dalam melakukan berbagai aktivitas ia harus dibantu oleh orang lain. Hal ini mengakibatkan anak-anak tersebut memiliki rasa ketergantungan yang sangat tinggi (Somantri, 2006).
Salah satu gangguan inteligensi yang banyak terjadi disekitar kita adalah gangguan mental retardasi dengan tipe mongol atau biasa disebut dengan down syndrome. Down syndrome adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan (Kaplan & Sadock, 2010).
Kaplan & Sadock (2010) menyatakan bahwa anak-anak dengan gangguan down syndrome memiliki ciri-ciri fisik yang dapat dikenali dengan mudah oleh tiap orang. Kanak-kanak Down syndrome mempunyai ciri-ciri fisikal yang unik :
1.      Sifat pada kepala, muka dan leher : Mereka mempunyai paras muka yang hampir sama seperti muka orang Mongol. Pangkal hidung terlihat sangat rendah. Jarak diantara 2 mata jauh dan berlebihan kulit di sudut dalam.
2.      Ukuran mulut yang kecil dan ukuran lidah yang besar menyebabkan lidah selalu terjulur. Pertumbuhan gigi lambat dan tidak teratur. Letak telinga terlihat rendah. Kepala biasanya lebih kecil dan agak lebar dari bahagian depan ke belakang. Lehernya agak pendek.
3.      Sifat pada tangan dan lengan : Sifat-sifat yang jelas pada tangan adalah mereka mempunyai jari-jari yang pendek dan jari kelingking membengkok ke dalam. Pada telapak tangan mereka biasanya hanya terdapat satu garisan urat dinamakan “simian crease”.
4.      Sifat pada kaki : Kaki agak pendek dan jarak di antara ibu jari kaki dan jari kaki kedua agak jauh terpisah.
5.      Sifat pada otot : Kanak-kanak down syndrom mempunyai otot yang lemah sehingga cukup mengalami masalah dalam motorik kasar. Anak-anak down syndrom dapat mengalami masalah kelainan organ-organ dalam terutama sekali jantung dan usus.
Keadaan fisik dan tingkah laku pada anak down syndrome yang terlihat jelas berbeda dengan anak-anak lainnya dapat mengakibatkan masyarakat berpandangan negatif terhadap mereka. Somantri (2006) mengatakan bahwa pada umumnya masyarakat kurang mengacuhkan anak tunagrahita atau anak down syndrome, bahkan tidak dapat membedakannya dengan orang gila.
Tanggapan negatif masyarakat tentang anak retardasi mental seperti mengejek dan menjauhi anak-anak retardasi mental dapat menimbulkan berbagai macam reaksi orang tua yang memiliki anak retardasi mental, seperti: orang tua mengucilkan anak atau tidak mengakui sebagai anak yang retardasi mental. Anak yang retardasi mental disembunyikan dari masyarakat karena orang tua merasa malu mempunyai anak keterbelakangan mental. Di sisi lain, ada pula orang tua yang memberikan perhatian lebih pada anak retardasi mental. Orang tua yang menyadari memiliki anak retardasi mental berusaha memberikan yang terbaik pada anaknya dengan meminta bantuan pada ahli yang dapat menangani anak retardasi mental. Orang tua yang memahami dan menyadari akan kelemahan anak retardasi mental merupakan faktor utama untuk membantu perkembangan anak dengan lingkungan (Suryani, 2005). Wall (1993) berpendapat bahwa fenomena dalam masyarakat masih banyak orang tua khususnya ibu yang menolak kehadiran anak yang tidak normal, karena malu mempunyai anak yang cacat, dan tak mandiri. Orang tua yang demikian akan cenderung menyangkal keberadaan anaknya dengan menyembunyikan anak tersebut agar jangan sampai diketahui oleh orang lain.
Hal ini tidak sesuai dengan hasil observasi dan wawancara yang peneliti lakukan pada tanggal 3 April 2010 di salah satu SLB di kota Padang. Seorang ibu berinisial A yang memiliki seorang anak perempuan dengan gangguan down syndrome, ibu A mengatakan bahwa ketika anaknya berusia 3 tahun dan menunjukkan perilaku yang berbeda dengan anak-anak seusianya dan ditambah dengan kondisi fisik yang jelas terlihat dari wajah G (anak perempuannya), ibu A sering mendapatkan pandangan-pandangan aneh dari orang-orang yang ditemuinya seperti mengatakan bahwa ibu A memiliki garis keturunan yang tidak baik dan tidak jarang pula tetangganya melarang anak-anaknya bermain dengan anak ibu A.
 Hasil wawancara selanjutnya dengan Ibu S yang memiliki putra dengan gangguan down syndrome menyatakan bahwa ia merasa kaget dan menyangkal ketika ia mengetahui bahwa anaknya mengalami gangguan down syndrome, ia juga mengatakan bahwa ia dulu merasa lelah mengurus anaknya tersebut, hal ini dikarenakan putranya tidak dapat melakukan apapun sendirian. Begitu juga dengan ibu T, ia mengeluhkan kesulitan yang dirasakannya dalam merawat anaknya, terutama dalam hal keuangan, dikarenakan harus membayar terapi dan biaya sekolah yang mahal.
Sementara itu bapak X menyatakan keluhan yang sering dirasakannya karena didatangi tetangganya akibat ulah yang dilakukan anaknya, seperti ketika anaknya membasahi dinding rumah tetangganya, lalu tetangganya tersebut mendatangi rumah bapak X dengan marah. Namun, keempat orang tua diatas menyatakan dirinya mulai dapat menerima anak mereka dengan baik saat ini, dimana mereka berusaha untuk memberikan latihan agar anak tersebut mampu melakukan beberapa hal yang berguna dalam kehidupan mereka kelak, disamping itu mereka selalu mengikuti perkembangan anaknya di sekolah. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh bapak Y, ketika peneliti menanyakan tentang anaknya yang mengalami gangguan down syndrome bapak Y terlihat gugup dan menolak untuk diwawancarai.
Berdasarkan hasil wawancara di atas terlihat bahwa ada orang tua yang menerima kondisi anaknya, dan ada pula yang tidak ingin membicarakan kondisi anaknya tersebut. Devan (2005) menyatakan bahwa berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa setiap individu memiliki keunikan dalam proses penerimaannya sehingga mereka berada dalam tingkat yang berbeda-beda dan melaluinya dalam jangka waktu yang berbeda pula.
Disamping itu khotimah (2009) menyatakan gambaran penerimaan yang ditunjukkan oleh subjek yaitu adanya harapan realistis terhadap keadaan, yakin akan standar dirinya, memiliki perhitungan akan keterbatasan pada dirinya, menyadari aset diri yang dimiliki, serta menyadari kekurangannya. Faktor-faktor yang menyebabkan penerimaan yang dialami oleh subjek terdiri dari pemahaman diri, makna hidup, pengubahan sikap, keikatan diri, kegiatan terarah, dan dukungan sosial sedangkan proses penerimaan yang dilalui oleh subjek terdiri dari beberapa proses, yaitu shock (kaget), grief and depression (perasaan duka dan depresi), guilt (perasaan bersalah), anger (perasaan marah), shame and embrassment (perasaan malu), adaptation and reorganization (adaptasi), acceptance and adjustment (menerima).
Hurlock (2004) penerimaan adalah suatu sikap khas yang ditunjukkan oleh orang tua terhadap anak-anaknya. Penerimaan orang tua ditandai oleh perhatian besar dan kasih sayang pada anak. Orang tua yang menerima, memperhatikan perkembangan kemampuan anak dan memperhitungkan minat anak. Anak yang diterima umumnya bersosialisasi dengan baik, kooperatif, ramah, loyal, secara emosional stabil, dan gembira. Hurlock (2004) juga menyatakan bahwa sikap ibu lebih berpengaruh terhadap perkembangan anak dibandingkan dengan sikap ayah terhadap anak.
Sebuah studi terdahulu mengenai ayah yang memiliki anak yang menderita cacat antara lain yang dilakukan oleh Price-Bonham dan Adoson, (dalam Lamb & Meyer, 1991) menunjukan bahwa para ayah lebih terpengaruh oleh aspek fisik dari kecacatan dan lebih peka dari pada ibu terhadap bagaimana anak mereka dapat mempengaruhi citra keluarga di masyarakat, sedangkan ibu lebih bisa menerima keadaan anaknya dengan lapang dada dan tidak terlalu memperdulikan keadaan lingkungannya. Memiliki anak yang menderita cacat tidak jarang dicemooh oleh masyarakat. Ibupun tak luput dari cemoohan masyarakat dan oleh karenanya sering menyalahkan anak karena ketidakmampuan atau ketidaknormalannya itu (Brown, dalam Gargiulo, 1985).
Duncan dan Moses (dalam Gargiulo, 1985), yang mengaplikasikan Teori Kubler-Ross mengenai tahap-tahap pengembangan reaksi terhadap kematian, mengungkapkan respon orangtua yang mengetahui anaknya mengalami kelainan dalam tiga fase yaitu tahap primary (shock, denial, grief & depression), tahap secondary (ambivalensi, guilt, anger, shame & embarrassment) yang terakhir tahap tertiary (bargaining, adaptation & reorganization, acceptance & adjustment).
Blacher (dalam Heward, 2003) menemukan adanya 3 tahap penyesuaian yang pada umumnya ditunjukkan oleh para orang tua yang menjadi subjek penelitian, yaitu:
(1)   tahap dimana orangtua mengalami berbagai krisis emosional, seperti shock, ketidakpercayaan, dan pengingkaran terhadap kondisi yang terjadi pada anaknya;
(2)   tahap ketika rasa tidak percaya dan pengingkaran yang terjadi diikuti oleh perasaan-perasaan dan sikap negatif seperti marah, menyesal, menyalahkan diri sendiri, malu, depresi, rendah diri di hadapan orang lain, menolak kehadiran anak, atau menjadi overprotective;
(3)   tahap terakhir pada saat orang tua telah mencapai suatu kesadaran terhadap situasi yang dihadapi, serta bersedia untuk menerima kondisi anak yang berbeda.
Berdasarkan hasil observasi dan interview yang peneliti lakukan di lapangan pada tanggal 3 & 12 April 2010, serta tanggal 18 mei 2010, banyak sekali ditemui anak-anak dengan gangguan down syndrome, dimana masyarakat kita masih menganggap gangguan down syndrome adalah suatu kutukan dan hal yang harus dihindari bahkan masih ada masyarakat yang menyamakan anak-anak down syndrome dengan orang gila. Hal ini dapat mengakibatkan tekanan bagi orang tua, namun bagi beberapa orang tua dapat menerima anak tersebut dengan baik.  Hurlock (2004) menyatakan bahwa penerimaan adalah suatu sikap khas yang ditunjukkan oleh orang tua terhadap anak-anaknya. Penerimaan orang tua ditandai oleh perhatian besar dan kasih sayang pada anak. Orang tua yang menerima, memperhatikan perkembangan kemampuan anak dan memperhitungkan minat anak. Anak yang diterima umumnya bersosialisasi dengan baik, kooperatif, ramah, loyal, secara emosional stabil, dan gembira. Menurut Johnson dan Medinnus (1997) penerimaan didefinisikan sebagai pemberian cinta tanpa syarat sehingga penerimaan orang tua terhadap anaknya tercermin melalui adanya perhatian yang kuat, cinta kasih terhadap anak serta sikap penuh kebahagiaan mengasuh anak. Hurlock (2004) juga menyatakan bahwa sikap ibu lebih berpengaruh terhadap perkembangan anak dibandingkan dengan sikap ayah terhadap anak.
Rosen (dalam Erikson, 1980) melakukan analisis bagaimana tahap-tahap yang dilalui oleh orang tua dalam penerimaan ketidaknormalan yang dialami oleh anak-anak mereka. Tahapan yang dilalui tersebut yaitu :
1.      Kesadaran
Tahapan dimana orang tua menyadari anaknya berbeda dengan anak-anak lain seusaianya. Dimana jika pada perkembangan anak-anak dengan usia yang lebih tua, ternyata anaknya makin menunjukkan ketidakmampuan. Dalam situasi seperti itu, biasanya oaring tua berada dalam pergelutan, antara mengakui keadaan tersebut atau menyangkalnya.
2.      Pengakuan
Sebagian besar orang tua yang memiliki anak yang tidak normal, tidak mau mengakui bahwa anaknya itu mempunyai kekurangan sehingga seringkali orang tua bersikap menyangkal terhadap keadaan yang ada. Oleh karena itu orang tua membutuhkan waktu untuk sampai pada tahapan pengakuan ini.
3.      Mencari penyebabnya
Orang tua banyak yang mencari berbagai alasan untuk mengalihkan rasa malu terhadap kondisi anaknya. Namun pada akhir tahap ini, biasanya orang tua dengan sendirinya mencari penyebab mengapa anaknya sampai menjadi demikian dengan cara antara lain membawanya berobat atau mencari bantuan ahli.
4.      Mencari pemecahan
Setelah diketahui penyebab dari ketidaknormalan anaknya itu, orang tua yang mengakui bahwa anaknya memang mempunyai kekurangan akan mencari jalan agar anaknya dapat mengatasi kekurangan tersebut dan nantinya anak akan dapat mandiri.
5.      Menerima
Tahap penerimaan ini akan dicapai bila orang tua menyetujui membawa anaknya ke tempat yang bermanfaat, dan bertanya pada tenaga ahli tentang hal yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan potensi anaknya.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa tertarik untuk melihat bagaimana bentuk penerimaan ibu yang memiliki anak down syndrome dengan melakukan penelitian yang berjudul “Penerimaan Ibu Terhadap Anak Dengan Gangguan Down Syndrome Yang Bersekolah Di SLB Yayasan Wacana Asih Padang”.

B.     Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan fenomena yang peneliti temui di lapangan, maka dalam penelitian ini peneliti merasa tertarik untuk mengetahui bagaimana penerimaan pada ibu yang memiliki anak dengan gangguan down syndrome, dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1.      Bagaimana bentuk penerimaan pada ibu yang memiliki anak dengan gangguan down syndrome ?
2.      Hal-hal apa saja yang melatarbelakangi penerimaan pada ibu dengan anak down syndrome ?

C.    Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan data mengenai bentuk penerimaan ibu yang memiliki anak dengan gangguan down syndrome  dan faktor yang melatarbelakangi penerimaan tersebut.

D.    Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.
1.      Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu psikologi khususnya Psikologi Perkembangan dan Psikologi Klinis.

2.      Manfaat Praktis
a.       Ibu dari anak dengan gangguan down syndrome
Menambah pengetahuan tentang bentuk-bentuk penerimaan dari ibu-ibu lain yang juga memiliki anak dengan gangguan down syndrome, juga dapat menambah informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi sikap penerimaan ibu terhadap anak down
b.      `syndrome sehingga diharapkan dapat memotivasi orang tua (ibu) dalam mengasuh anak dengan gangguan down syndrome.
c.       Peneliti Lain
Bagi peneliti lain yang tertarik untuk meneliti anak dengan gangguan, maka hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan perbandingan tentang penerimaan ibu terhadap anak down syndrome.

E.     Tinjauan Pustaka
1.      Down Syndrome
a.       Pengertian Down Syndrome
Down syndrome merupakan kelainan kromosom yang dapat dikenal dengan melihat manifestasi klinis yang cukup khas. Kelainan yang berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental anak ini pertama kali dikenal pada tahun 1866 oleh Dr.John Longdon Down. Ciri-ciri yang tampak aneh seperti tinggi badan yang relatif pendek, kepala mengecil, hidung yang datar menyerupai orang Mongolia maka sering juga dikenal dengan Mongoloid. Pada tahun 1970an para ahli dari Amerika dan Eropa merevisi nama dari kelainan yang terjadi pada anak tersebut dengan merujuk penemu pertama kali syndrome ini dengan istilah down syndrome dan hingga kini penyakit ini dikenal dengan istilah yang sama (www.wikipedia.com).
Kaplan & Sadock (2010) menyatakan lapisan kulit pada anak dengan gangguan down syndrome biasanya tampak keriput (dermatoglyphics). Kelainan kromosom ini juga bisa menyebabkan gangguan atau bahkan kerusakan pada sistim organ yang lain. Karena ciri-ciri yang tampak aneh seperti tinggi badan yang relatf pendek, kepala mengecil, hidung yang datar menyerupai orang Mongolia, maka sering juga dikenal dengan Mongoloid. Pada bayi baru lahir kelainan dapat berupa Congenital Heart Disease. kelainan ini yang biasanya berakibat fatal di mana bayi dapat meninggal dengan cepat. Pada sistim pencernaan dapat ditemui kelainan berupa sumbatan pada esophagus (esophageal atresia) atau duodenum (duodenal atresia).

b.      Etiologi
Kaplan & Sadock (2010) menyatakan penyebab dari Down syndrome adalah adanya kelainan kromosom yaitu terletak pada kromosom 21 dan 15, dengan kemungkinan-kemungkinan :
1. Non Disjunction sewaktu osteogenesis ( Trisomi )
2. Translokasi kromosom 21 dan 15
3. Postzygotic non disjunction ( Mosaicism )
Faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya kelainan kromosom (Kejadian Non Disjunctional) adalah :
1. Genetik
Karena menurut hasil penelitian epidemiologi mengatakan adanya peningkatan resiko berulang bila dalam keluarga terdapat anak dengan down syndrom.
2. Radiasi
Ada sebagian besar penelitian bahwa sekitar 30 % ibu yang melahirkan ank dengan syndrom down pernah mengalami radiasi di daerah sebelum terjadi konsepsi.
3. Infeksi dan kelainan kehamilan
4. Autoimun dan kelainan endokrin pada ibu
Terutama autoimun tiroid atau penyakit yang dikaitkan dengan tiroid.
5.   Umur ibu
Apabila umur ibu diatas 35 tahun diperkirakan terdapat perubahan hormonal yang dapat menyebabkan “non dijunction” pada kromosom. Perubahan endokrin seperti meningkatnya sekresi androgen, menurunnya kadar hidroepiandrosteron, menurunnya konsentrasi estradiolsistemik, perubahan konsentrasi reseptor hormon danpeningkatan kadar LH dan FSH secara tiba-tiba sebelum dan selam menopause. Selain itu kelainan kehamilan juga berpengaruh.
6. Umur ayah
Selain itu ada faktor lain seperti gangguan intragametik, organisasi nukleolus, bahan kimia dan frekuensi koitus.


c.       Gejala Down Syndrome
Gejala yang muncul akibat down syndrome dapat bervariasi mulai dari yang tidak tampak sama sekali, tampak minimal sampai muncul tanda yang khas. Penderita dengan tanda khas sangat mudah dikenali dengan adanya penampilan fisik yang menonjol berupa bentuk kepala yang relatif kecil dari normal (microchephaly) dengan bagian anteroposterior kepala mendatar. Pada bagian wajah biasanya tampak sela hidung yang datar, mulut yang mengecil dan lidah yang menonjol keluar (macroglossia). Seringkali mata menjadi sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan (epicanthal folds). Tanda klinis pada bagian tubuh lainnya berupa tangan yang pendek termasuk ruas jari-jarinya serta jarak antara jari pertama dan kedua baik pada tangan maupun kaki melebar (Kaplan & Sadock, 2010).

1.      Gejala Klinis
Berat badan waktu lahir dari bayi dengan syndrom down umumnya kurang dari normal.
Beberapa bentuk kelainan pada anak dengan down syndrom:
a.       Sutura sagitalis yang terpisah
b.      Fisura palpebralis yang miring
c.       Jarak yang lebar antara kaki
d.      Fontarela palsu
e.       plantar crease” jari kaki i dan ii
f.       Hyperfleksibilitas
g.      Peningkatan jaringan sekitar leher
h.      Bentuk palatum yang abnormal
i.        Hidung hipoplastik
j.        Kelemahan otot dan hipotonia
k.      Bercak brushfield pada mata
l.        Mulut terbuka dan lidah terjulur
m.    Lekukan epikantus (lekukan kulit yang berbentuk bundar) pada sudut mata sebelah dalam
n.      Single palmar crease pada tangan kiri dan kanan
o.      Jarak pupil yang lebar
p.      Oksiput yang datar
q.      Tangan dan kaki yang pendek serta lebar
r.        Bentuk / struktur telinga yang abnormal
s.       Kelainan mata, tangan, kaki, mulut, sindaktili
t.        Mata sipit
2.  Gejala-Gejala Lain :
a.       Anak-anak yang menderita kelainan ini umumnya lebih pendek dari anak yang umurnya sebaya.
b.      Kepandaiannya lebih rendah dari normal.
c.       Lebar tengkorak kepala pendek, mata sipit dan turun, dagu kecil yang mana lidah kelihatan menonjol keluar dan tangan lebar dengan jari-jari pendek.
d.      Pada beberapa orang, mempunyai kelaianan jantung bawaan.
e.       Juga sering ditemukan kelainan saluran pencernaan seperti atresia esofagus (penyumbatan kerongkongan) dan atresia duodenum, jugaa memiliki resiko tinggi menderita leukimia limfositik akut. Dengan gejala seperti itu anak dapat mengalami komplikasi retardasi mental, kerusakan hati, bawaan, kelemahan neurosensori, infeksi saluran nafas berulang.
f.        Masalah Jantung :
Masalah jantung yang paling kerap berlaku ialah jantung berlubang seperti Ventricular Septal Defect (VSD) yaitu jantung berlubang diantara bilik jantung kiri dan kanan atau Atrial Septal Defect (ASD) yaitu jantung berlubang diantara atria kiri dan kanan. Masalah lain adalah termasuk salur ateriosis yang berkekalan (Patent Ductus Ateriosis / PDA). Bagi kanak-kanak down syndrom boleh mengalami masalah jantung berlubang jenis kebiruan (cynotic spell) dan susah bernafas.
g.      Masalah Usus
Masalah usus biasanya dikesan semasa awal kelahiran seperti :
Saluran esofagus yang tidak terbuka (atresia) ataupun tiada saluran sama sekali di bahagian tertentu esofagus. Biasanya ia dapat dekesan semasa berumur 1 – 2 hari dimana bayi mengalami masalah menelan air liurnya. Saluran usus kecil duodenum yang tidak terbuka penyempitan yang dinamakan “Hirshprung Disease”. Keadaan ini disebabkan sistem saraf yang tidak normal di bagian rektum. Biasanya bayi akan mengalami masalah pada hari kedua dan seterusnya selepas kelahiran di mana perut membuncit dan susah untuk buang air besar. Saluran usus rectum atau bagian usus yang paling akhir (dubur) yang tidak terbuka langsung atau penyempitan yang dinamakan “Hirshprung Disease”. Keadaan ini disebabkan sistem saraf yang tidak normal di bagian rektum. Biasanya bayi akan mengalami masalah pada hari kedua dan seterusnya selepas kelahiran di mana perut membuncit dan susah untuk buang air besar. Kanak-kanak down syndrom mungkin mengalami masalah Hipotiroidism yaitu kurang hormon tairoid. Masalah ini berlaku di kalangan 10 % kanak-kanak down syndrom.
h.      Kanak-kanak down syndrom mempunyai ketidakstabilan di tulang-tulang kecil di bagian leher yang menyebabkan berlakunya penyakit lumpuh (atlantoaxial instability) dimana ini berlaku di kalangan 10 % kanak-kanak down syndrom. Sebagian kecil mereka mempunyai risiko untuk mengalami kanker sel darah putih yaitu leukimia.
i.        Masalah Perkembangan Belajar
Kanak-kanak down syndrom secara keseluruhannya mengalami keterbelakangan perkembangan dan kelemahan akal. Pada peringkat awal pembesaran mereka mengalami masalah lambat dalam semua aspek perkembangan yaitu lambat untuk berjalan, perkembangan motor halus dan bercakap. Perkembangan sosial mereka agak menggalakkan menjadikan mereka digemari oleh ahli keluarga. Mereka juga mempunyai sifat periang. Perkembangan motor kasar mereka lambat disebabkan otot-otot yang lembek tetapi mereka akhirnya berjaya melakukan hampir semua pergerakan kasar. (http://watawarga.gunadarma.ac.id/)

2.      Penerimaan Ibu
a.       Pengertian Penerimaan
Hurlock (2004) penerimaan adalah suatu sikap khas yang ditunjukkan oleh orang tua terhadap anak-anaknya. Penerimaan orang tua ditandai oleh perhatian besar dan kasih sayang pada anak. Orang tua yang menerima, memperhatikan perkembangan kemampuan anak dan memperhitungkan minat anak. Anak yang diterima umumnya bersosialisasi dengan baik, kooperatif, ramah, loyal, secara emosional stabil, dan gembira. Hurlock (2004) juga menyatakan bahwa sikap ibu lebih berpengaruh terhadap perkemabangan anak dibandingkan dengan sikap ayah terhadap anak.
Menurut Johnson dan Medinnus (1997) penerimaan didefinisikan sebagai pemberian cinta tanpa syarat sehingga penerimaan orang tua terhadap anaknya tercermin melalui adanya perhatian yang kuat, cinta kasih terhadap anak serta sikap penuh kebahagiaan mengasuh anak. Coopersmith (1967) mengatakan bahwa penerimaan orang tua terungkap melalui perhatian pada anak, kepekaan terhadap kepentingan anak, ungkapan kasih sayang dan hubungan yang penuh kebahagiaan dengan anak. Serta pernyataan Coopersmith dalam Walgito (1993) menyatakan pula penerimaan orang tua dicerminkan dalam perhatian orang tua terhadap anak, tanggap kebutuhan dan keinginan anak, adanya kasih sayang dan kehangatan orang tua dengan anak.

b.      Tahap Respon Psikologis
Respons psikologis yang dialami seseorang karena kehilangan oleh Kubler-Ross (1969) dikemukakan dalam teori yang disebut “The Five Stages of Grief” (www.wikipedia.org). Teori ini membagi respons psikologis dalam lima tahap, yaitu penyangkalan (denial), marah (anger), tawar-menawar (bargaining), depresi (depression) dan penerimaan (acceptance). Kelima tahap respons psikologis ini sering diidentikkan dengan lima tahap model duka cita yang disebabkan oleh proses kematian. Namun akhirnya berkembang tidak hanya sebatas itu, lima tahap respons psikologis ini juga bisa digunakan untuk mengidentifikasi individu pasca pemutusan hubungan kerja, adanya bencana sehingga terpaksa harus mengungsi, kehilangan anggota tubuh, hukuman, kebangkrutan, korban kejahatan atau  kriminal dan keputusasaan, serta kehilangan harapan. Sehingga teori ini berkembang lebih luas dan dapat digunakan untuk memahami reaksi pasca kejadian traumatik yang dialami oleh seseorang (Kaplan & Sadock, 2010). Kelima tahap tersebut yaitu :
1. Tahap Penyangkalan (Denial)
Reaksi pertama individu yang kehilangan adalah terkejut, tidak percaya, merasa terpukul dan menyangkal pernyataan bahwa kehilangan itu benar-benar terjadi (Suliswati, 2005). Secara sadar maupun tidak sadar seseorang yang berada pada tahap ini menolak semua fakta, informasi dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal yang dialaminya. Individu merasa hidupnya menjadi tidak berarti lagi. Pada saat itu dia dalam keadaan terguncang dan pengingkaran, merasa ingin mati saja. Pada tahap ini seseorang tidak mampu berpikir apa yang seharusnya dia lakukan untuk keluar dari masalahnya. Dia tidak siap untuk menerima kondisinya (Kozier, 2004). Oleh karenanya tahap pengingkaran merupakan suatu tahap yang sangat tidak nyaman dan situasi yang sangat menyakitkan (French, 1992)
Reaksi fisik yang terjadi pada tahap ini biasanya berupa keletihan, kelemahan, pucat, mual, diare, sesak napas, detak jantung cepat, menangis, gelisah. Reaksi ini dapat berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa tahun (Suliswati, 2005)

2. Tahap Marah (Anger)
Kemarahan yang dialami oleh seseorang dapat diungkapkan dengan berbagai cara. Individu mungkin menyalahkan dirinya sendiri dan atau orang lain atas apa yang terjadi padanya, serta pada lingkungan tempat dia tinggal. Pada kondisi ini individu tidak memerlukan nasihat, baginya nasihat adalah sebuah bentuk pengadilan (judgement) yang sangat membuatnya menjadi lebih terganggu. Reaksi fisik yang sering terjadi pada tahap ini antara lain wajah merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur dan tangan mengepal (Suliswati, 2005)
3. Tawar-Menawar (Bargaining)
Apabila individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya, maka ia maju ke tahap tawar-menawar (Suliswati, 2005). Pada tahap ini seseorang berpikir seandainya dia dapat menghindari kehilangan itu. Reaksi yang sering muncul adalah dengan mengungkapkan perasaan bersalah atau ketakutan pada dosa yang pernah dilakukan, baik itu nyata ataupun hanya imajinasinya saja (Kozier, 2004).
4. Tahap Depresi (Depression)
Individu pada tahap ini mengalami disorganisasi dalam batas tertentu dan merasa bahwa mereka tidak mampu melakukan tugas yang di masa lalu dilakukan dengan sedikit kesulitan (Niven, 2002). Individu sering menunjukkan sikap menarik diri, tidak mau berbicara, takut, perasaan tidak menentu dan putus asa. Seseorang yang berada pada tahap ini setidaknya sudah mulai menerima apa yang terjadi padanya adalah kenyataan yang memang harus dia hadapi (Chapman, 2006). Gejala fisik yang sering diperlihatkan adalah menolak makan, susah tidur, letih dan libido menurun (Suliswati, 2005).
5. Tahap Penerimaan (Acceptance)
Tahap ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Individu akan menyadari bahwa hidup mereka harus terus berlanjut dan mereka harus mencari makna baru dari keberadaan mereka. Pikiran yang selalu terpusat pada obyek atau orang yang hilang akan mulai berkurang atau menghilang. Individu telah menerima kenyataan kehilangan yang dialaminya, gambaran tentang obyek atau orang yang hilang mulai dilepaskan dan secara bertahap perhatian dialihkan kepada obyek yang baru (Suliswati, 2005). Seseorang yang berada pada tahap ini mulai menyusun rencana yang akan dilakukan pasca kehilangan (Kozier, 2004).
Namun, tidak semua individu yang mengalami kehilangan selalu melalui tahap-tahap seperti yang telah dikemukakan oleh Kubler-Ross. Apabila individu dapat melalui tahap-tahap tersebut dan mencapai tahap penerimaan, maka ia akan dapat mengakhiri proses kedukaan dan mengatasi perasaan kehilangan secara tuntas. Apabila individu tetap berada pada salah satu tahap lebih awal dan tidak mencapai tahap penerimaan, jika ia mengalami kehilangan lagi, akan sulit baginya untuk mencapai tahap penerimaan.
Teori respons psikologis juga dikemukakan oleh Hundak & Gallo (1997) yang meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Tahap terkejut atau tidak percaya
Pada tahap ini individu yang mengalami masalah atau kehilangan akan menunjukkan karakteristik perilaku menghindari atau menolak. Individu gagal memahami makna rasional dan dampak emosional dari diagnosa yang dialami.

2. Tahap mengembangkan kesadaran
Pada tahap ini perilaku individu dihubungkan dengan rasa marah dan bersalah. Marah diekspresikan dengan cara berlebihan dan tidak konstruktif sehingga kadang dikompensasikan pada pelayanan yang kurang seperti sikap perawat yang lamban atau kurang peka.
3. Tahap resusitasi
Pada tahap ini orang berduka mengesampingkan marah dan pertahanan serta mulai mengatasi bentuk kehilangan yang dialami salah satunya adalah kesedihan dan mengungkapkannya dengan menangis.
4. Tahap resolusi
Pada tahap ini individu mulai beradaptasi, kepedihan yang menyakitkan berkurang dan orang bergerak untuk menuju identifikasi sebagai seseorang yang mempunyai keterbatasan.
Rosen (dalam Erikson, 1980) melakukan analisis bagaimana tahap-tahap yang dilalui oleh orang tua dalam penerimaan ketidaknormalan yang dialami oleh anak-anak mereka. Tahapan yang dilalui tersebut yaitu :
1.      Kesadaran
Tahapan dimana orang tua menyadari anaknya berbeda dengan anak-anak lain seusaianya. Dimana jika pada perkembangan anak-anak dengan usia yang lebih tua, ternyata anaknya makin menunjukkan ketidakmampuan. Dalam situasi seperti itu, biasanya oaring tua berada dalam pergelutan, antara mengakui keadaan tersebut atau menyangkalnya.

2.      Pengakuan
Sebagian besar orang tua yang memiliki anak yang tidak normal, tidak mau mengakui bahwa anaknya itu mempunyai kekurangan sehingga seringkali orang tua bersikap menyangkal terhadap keadaan yang ada. Oleh karena itu orang tua membutuhkan waktu untuk sampai pada tahapan pengakuan ini.
3.      Mencari penyebabnya
Orang tua banyak yang mencari berbagai alasan untuk mengalihkan rasa malu terhadap kondisi anaknya. Namun pada akhir tahap ini, biasanya orang tua dengan sendirinya mencari penyebab mengapa anaknya sampai menjadi demikian dengan cara antara lain membawanya berobat atau mencari bantuan ahli.
4.      Mencari pemecahan
Setelah diketahui penyebab dari ketidaknormalan anaknya itu, orang tua yang mengakui bahwa anaknya memang mempunyai kekurangan akan mencari jalan agar anaknya dapat mengatasi kekurangan tersebut dan nantinya anak akan dapat mandiri.
5.      Menerima
Tahap penerimaan ini akan dicapai bila orang tua menyetujui membawa anaknya ke tempat yang bermanfaat, dan bertanya pada tenaga ahli tentang hal yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan potensi anaknya.

c.       Peran Orang Tua
Peran orang tua dalam menangani anak berkebutuhan khusus tentunya sangatlah besar. Mangunsong (1998) mengungkapkan berbagai bentuk keterlibatan orang tua sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya, antara lain:
1.      Orang tua sebagai pengambilan keputusan
2.      Proses penyesuaian diri
3.      Sosialisasi Anak
4.      Memperhatikan hubungan dengan saudara-saudaranya
5.      Merencanakan masa depan dan perwalian
6.      Bertanggung jawab sebagai guru.

d. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan orang tua
Hurlock (2004) mengemukakan bahwa penerimaan orang tua ditandai oleh perhatian besar dan kasih sayang pada anak. Penerimaan orang tua di dalam pengertian Hurlock menerangkan berbagai macam sikap khas orang tua terhadap anak. Sikap orang tua terhadap anak mereka merupakan hasil belajar. Banyak faktor yang turut mempengaruhi sikap orang tua terhadap anak. Hurlock ( 1999) menjelaskan faktor-faktor tersebut dipengaruhi oleh :
1)      Konsep “anak idaman”, yang terbentuk sebelum kelahiran anak, yang sangat diwarnai romantisme, dan didasarkan gambaran anak ideal dari orang tua.
2)      Pengalaman awal dengan anak mewarnai sikap orang tua terhadap anaknya.
3)      Nilai budaya mengenai cara terbaik memperlakukan anak, secara otoriter, demokratis maupun permisif, akan mempengaruhi sikap orang tua dan cara memperlakukan anaknya.
4)      Orang tua yang menyukai peran, merasa bahagia, dan mempunyai penyesuaian yang baik terhadap perkawinan, akan mencerminkan penyesuaian yang baik pada anak.
5)      Apabila orang tua merasa mampu berperan sebagai orang tua, sikap mereka terhadap anak dan perilakunya lebih baik dibandingkan sikap mereka yang merasa kurang mampu dan ragu-ragu.
6)      Kemampuan dan kemauan untuk menyesuaikan diri dengan pola kehidupan yang berpusat pada keluarga.
7)      Alasan memiliki anak. Apabila alasan untuk memiliki anak untuk mempertahankan perkawinan yang retak dan hal ini tidak berhasil maka sikap orang tua terhadap anak akan berkurang dibandingkan dengan sikap orang tua yang menginginkn anak untuk memberikan kepuasan mereka dengan perkawinan mereka.
8)      Cara anak bereaksi terhadap orang tuanya mempengaruhi sikap orang tua terhadapnya.
Darling-Darling (1997) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan orang tua terhadap anaknya adalah :
1)      Umur anak
Anak-anak cacat yang usianya lebih muda lebih mudah tertekan dan menderita daripada orang tua dari anak-anak cacat yang usianya lebih tua.
2)      Agama
Orang tua yang menghargai terhadap agamanya, orang tua yang lebih intens dalam melakukan praktek agama cenderung bersikap lebih menerima anak-anak mereka yang terhambat secara fisik.
3)      Penerimaan diri sendiri ortu
Terdapat hubungan yang sangat tinggi antara penerimaan diri sendiri dan penerimaan orang tua terhadap anaknya.
4)      Alasan orang tua memiliki anak
Orang tua yang mendambakan anaknya menjadi atlit atau orang yang terpelajar  akan menjadi kecewa pada kelahiran anaknya yang cacat secara fisik atau mental.
5)      Status sosial ekonomi
Keluarga dari kelas bawah lebih dapat menerima daripada keluarga kelas menengah.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor yang turut mempengaruhi penerimaan orang tua terhadap anaknya menurut Hurlock (2004) adalah bagaimana konsep orang tua terhadap anaknya, apakah anaknya tersebut sesuai dengan gambaran ideal orang tua, pengalaman dan cara bereaksi anak terhadap sikap orang tua, gaya pengasuhan orang tua terhadap anaknya, kemampuan dan penyesuaian orang tua terhadap perkawinannya, alasan orang tua memiliki anak, serta ditambahkan pula oleh Darling-darling (1997), bahwa anak dengan usia yang lebih muda dapat menyebabkan orang tua lebih mudah tertekan, dari sisi agama juga menjelaskan bahwa orang tua yang lebih intens dalam melakukan praktek agama cenderung bersikap lebih menerima anak-anak mereka yang terhambat secara fisik, dan alasan orang tua memiliki anak, bagaimana penerimaan orang tua terhadap anaknya serta faktor sosial ekonomi, merupakan faktor-faktor yang turut mempengaruhi penerimaan orang tua terhadap anaknya.
e. Aspek-aspek penerimaan orang tua
Orang tua yang menerima anaknya akan menempatkan anaknya pada posisi penting dalam keluarga dan mengembangkan hubungan emosional yang hangat dengan anak. Porter (dalam Johnson dan Medinnus, 1997) mengungkap aspek-aspek penerimaan orang tua terhadap anak sebagai berikut :
a. Menghargai anak sebagai individu dengan segenap perasaan mengakui hak-hak anak dan memenuhi kebutuhan untuk mengekspresikan perasaan.
b. Menilai anaknya sebagai diri yang unik sehingga orang tua dapat memelihara keunikan anaknya tanpa batas agar mampu menjadi pribadi yang sehat
c. Mengenal kebutuhan-kebutuhan anak untuk membedakan dan memisahkan diri dari orang tua dan mencintai individu yang mandiri
d. Mencintai anak tanpa syarat.


Menurut Zuck dalam Darling-darling (1997) aspek-aspek yang terdapat dalam diri orang tua yang menerima anaknya adalah sebagai berikut :
a. Memperlihatkan kecemasan yang minimal dalam kehadiran anak
b. Memperlihatkan keadaan membela diri yang minimal tentang keterbatasan anak
c. Tidak ada penolakan yang jelas pada anak maupun membantu perkembangan kepercayaan yang lebih.
Aspek-aspek penerimaan orang tua menurut Musen, dkk (1979) dapat digolongkan menjadi empat, yaitu :
a. Adanya kontrol, yaitu usaha –usaha untuk mempengaruhi aktivitas orientasi cita-cita anak, membatasi ketergantungan, agresif dan perilaku untuk terus bermain
b. Tuntutan kematangan, tekanan pada anak untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kemampuan intelektual, sosial dan emosional.
c. Komunikasi jelas antara orang tua dengan anak, contohnya menggunakan alasan untuk menanyakan pendapat anak dan perasaannya
d. Pengasuhan orang tua, meliputi kehangatan (cinta, perhatian dan keharuan) dan keterbukaan (pujian dan kesenangan dalam prestasi anak).